Sunday, March 6, 2016

Siapakah Grand Syaikh Ahmad Al-Thayeb?.
Sebagai lembaga keilmuan tertua di dunia Islam, Universitas Al-Azhar mempunyai kedudukan khusus di tengah umat Islam dunia. Dengan tenaga pengajar yang terdiri dari para ulama besar dan berpengaruh, universitas Al-Azhar menjadi rujukan dalam permasalahan-permasalahan umat Islam seluruh dunia. Oleh sebab itu, sosok yang menjadi pimpinan tertinggi Al-Azhar tentu saja bukan sembarang orang.

Grand Syaikh Ahmad Mohammad Ahmad Al-Thayeb adalah Grand Syaikh ke-50 al-Azhar. Ia menggantikan Syaikh Muhammad Tanthowi yang wafat pada 2010 di Arab Saudi. Ulama  yang dilahirkan di Luxor, 6 Januari 1946 ini menghabiskan masa mudanya di kampung halaman sebelum menimba ilmu di Al-Azhar dari jenjang S1 hingga S3 di bidang Akidah Filsafat sejak tahun 1969 hingga 1977, sekaligus gelar Ph.D dari Sorbonne University, Perancis pada 1977.

Dari silsilah keluarga, nasab Grand Syaikh Ahmad Al-Thayeb bersambung pada garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam lingkungan keilmuan dan perdamaian di kampungnya yang diselenggarakan oleh sang kakek, Ahmad Thayeb dan dilanjutkan oleh ayahnya Muhammad Thayeb. Kegemarannya mengikuti majelis perdamaian ini kemudian terus berlanjut hingga menjabat sebagai Imam Besar Al-Azhar saat ini.
 
Pribadi Syaikh Ahmad Al-Thayeb

Dalam posisi sedemikian terhormat, Ahmad Al-Thayeb tetap merupakan sosok yang sangat rendah hati, bahkan, sebagaimana dikatakan tokoh ulama Indonesia, Prof. Quraish Shihab, saat ia hendak mengundang Grand Syaikh ke Indonesia dalam rangka penganugerahan gelar honoris causa, Syaikh Al-Thayib merendah “Tak perlu lah saya diberi gelar doktor kehormatan. Tanpa penganugerahan gelar tersebut pun, saya tetap akan datang ke Indonesia,” katanya sebagaimana dikutip Quraish Shihab.

Demikian pula, Grand Syaikh merupakan sosok yang dermawan.Satu ketika, ia menerima penghargaan dan hadiah yang setara dengan 2,5 milyar rupiah dari Uni Emirat Arab. Hadiah itu merupakan penghargaan karena ia dipandang telah berhasil memimpin al-Azhar sebagai lembaga keilmuan Islam yang menjunjung tinggi konsep Islam moderat sebagai ciri Islam rahmatan lil ‘alamin. Namun demikian, hadiah sebesar itu tidak ia terima melainkan langsung ia hibahkan ke kas al-Azhar.

Dalam hal bersikap terhadap perbedaan pendapat, Grand Syaikh menunjukan bagaimana toleransi perlu dibangun terhadap kalangan yang berbeda pandangan. Satu ketika ia berbeda pendapat dengan ulama besar lain, yaitu Syaikh Yusuf al-Qaradhawy terkait permasalahan di Mesir.

Di tengah perbedaan pendapat itu, Grand Syaikh justru mengundang Al-Qaradhawy untuk mengadakan berbagai kegiatan di Mesir, padahal sebelumnya Syeikh al-Qaradhawi dilarang untuk mengisi program ilmiyah di Mesir dan Al-Azhar. Syeikh Ahmad Al-Thayeb justru membuat perubahan dengan menerima Al-Qardhawi sebagai anggota Dewan Pusat Penelitian Islam dan mengundangnya untuk menyampaikan kajian ilmiyah di Muktamar Ikatan Alumni Al-Azhar.

Pada tanggal 25 Januari 2011 Syeikh Qaradhawi juga hadir atas undangan Syeikh Al-Azhar, namun kepolisian Mesir justru menangkap al-Qardhawi  dengan alasan keamanan. Mendengar kabar itu, Grand Syaikh dengan lantang berkata kepada kepolisian “Jika Anda menangkap Syeikh Yusuf al-Qaradhawi maka aku akan meletakkan jabatan sebagai Syekh al-Azhar.”

Selain mengajar di Kampus Al-Azhar, Grand Syaikh juga tercatat sebagai pengajar di Universitas Imam Muhammad bin Sa`ud di Riyadh, Arab Saudi, Universitas Qatar. Universitas Emirat, dan Universitas Islam Internasional di Islamabad, Pakistan. Karya-karyanya banyak dan menjadi rujukan akademisi terutama berkaitan dengan tema-tema filsafat.

Grand Syaikh Al-Azhar memiliki posisi dan peran penting di Mesir, khususnya dalam kapasitasnya sebagai Mufti negara bagi pemerintah. Otoritas Grand Syaikh sangat dihormati oleh semua pemimpin yang berkuasa di Mesir. Sehingga, Grand Syaikh Al-Azhar merupakan pemangku otoritas tertinggi sebagai jalan keluar dari permasalahan agama di negara itu. Hal ini juga menjadikan Grand Syaikh memiliki peran politis yang sangat diperhitungkan di Mesir.

Mengingat alumni Universitas al-Azhar tersebar di hampir seluruh dunia Islam, posisi Grand Syaikh Al-Azhar kemudian menjadi salah satu rujukan terutama dalam perdebatan keagamaan dan keislaman. Al-Azhar sendiri merupakan lembaga keilmuan terhormat dan disegani di seluruh negara Muslim.



Selain itu, Grand Syaikh Ahmad Al-Thayeb juga dikenal memiliki ketegasan dalam menjaga kehormatan ilmu dan agama. Promotor pada penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di UIN Malang, Alwi Shihab, mengisahkan saat al-Thayeb dipanggil oleh salah seorang pemimpin besar negara barat untuk menemuinya. Ketika itu Grand Syaikh menjawab sebagaimana ungkapan Imam Malik: “Ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi.” Sikap tegas tersebut dilakukan karena ia ingin menjaga marwah atau kehormatan ilmu dan agama di hadapan penguasa barat.

 referensi :
    bimasislam.kemenag.go.id